26 May 2015

Kritik atas Esai James Bui (Bagian 1)

Oleh: Ahmad Makki

Pada Januari 2015, James Bui menulis sebuah esai pendek, “On The Current Status And Future Projections of the Pomade Market”. Tulisan ini memancing reaksi cukup keras dari kalangan enthusiast pomade di Indonesia. Hal yang menjadi kontroversi sebetulnya hanya bagian kecil dari tema utama yang dibicarakan dalam tulisan ini. Bagian inilah yang dipersoalkan oleh para enthusiast pomade di Indonesia.


“In this first paragraph, I'd like to specifically refer to the Maritime Southeast Asian countries such as Indonesia, Malaysia, and Singapore -- along with a few others such as Japan and Australia. These are countries where pomade was only popularized recently. In the US, the concept of pomade/brilliantine/hair dressing has existed for decades. This means they have had time to fester and develop into new products. This history is important to make sense of why a majority of the innovation is made in the US and Europe. Nevertheless, no matter where the pomade is, it is highly influence by American rockabilly or menswear culture -- both of which I have ZERO taste for. The influence is too strong and actually, stunts develop. For example, Indonesia is a Muslim and Indonesian-speaking majority nation, yet almost all their products are marketed and labeled with English. The choice to use English, despite the many typos, is representative of a desire to mimic and recreate a long-dead component of American culture. As long as they continue to simply mimic pomade formulas and look up to America, we cannot expect any innovations.”

Kegaduhan yang diakibatkan oleh paragraf tersebut memaksa Bui membuat klarifikasi:

“Due to some misunderstanding:

The message of the above paragraph was to point out the strong influence of American culture on Maritime Southeast Asia. It's unbelievably strong. When fixies (fixed gear bicycles) became popular in the US, they became popular over there after 1-2 years. After the pompadour and pomade began to trend in the US, it began to trend over there within the next year or so. This relationship carries the undertones of colonialism and is currently structured as a one-way path: US to Indonesia/Singapore/Malaysia. Our culture influences yours. Yours does not influence ours. Now, the purpose of the paragraph was to suggest that as long as this relationship remains, we can't expect Indonesia/Malaysia/Singapore to surpass us in pomade development. You can't surpass your teacher if you're still trying to learn from them.”

Setidaknya ada tiga poin yang digugat para pengkritik dari tulisan Bui di Indonesia. Pertama, pernyataan bahwa pomade populer di Indonesia dan sekitarnya baru dalam beberapa tahun terakhir. Kedua, klaim bahwa tradisi pomade di mana pun pasti mendapat pengaruh kuat dari American rockabilly dan menswear culture. Ketiga, formula pomade-pomade yang diproduksi oleh para pengrajin pomade rumahan di indonesia hanya mengikuti tradisi Amerika.

Menurut saya Bui justru tepat pada ketiga poin di atas. Asumsi saya, para pengkritik tidak cukup seksama menyimak esai untuk menangkap maksud dari pernyataannya. Hal ini cukup fatal, karena mereka justru tidak menangkap persoalan sebenarnya dalam paragraf tersebut.

Sebelum membahas persoalan yang lebih esensial dalam esai Bui, mari kita lihat mengapa saya anggap Bui benar, paling tidak tak sepenuhnya salah dalam ketiga poin di atas.

Pomade baru populer di Indonesia pada beberapa tahun belakangan
Para pengkritik mengajukan fakta bahwa di Indonesia sudah beredar produk-produk pomade sejak puluhan tahun lalu. Tancho, Rita, Happy Lavender, adalah beberapa contoh merk yang bisa disebut. Tentu saja itu fakta. Tapi sama sekali tidak menyentuh apa yang dimaksudkan Bui, yakni pomade sebagai konsep. Seperti dia katakan, “In the US, the concept of pomade/brilliantine/hair dressing has existed for decades”.

Tancho, misalnya, adalah merk pomade yang sudah populer di Indonesia selama puluhan tahun. Tapi sebagai sebuah konsepsi, kita memahaminya sebagai pomade baru pada beberapa tahun terakhir. Sebelumnya kita tak bisa membedakan antara Tancho sebagai pomade, dengan produk penata rambut lain seperti hair cream, gel dan lainnya. Kita juga belum terpikir menggolongkan Tancho dalam varian tertentu, seperti saat ini kita mengenal varian heavy, medium dan light dalam pomade. Baru beberapa tahun terakhir kita terpikir untuk melakukannya, setelah berkenalan dengan tradisi pomade secara lebih utuh.

Tradisi pomade selalu berakar dari American rockabilly dan menswear culture
Poin ini berkaitan sangat erat dengan poin pertama, yakni pomade sebagai konsepsi, bukan sekadar produk. Para pemakai produk Tancho, Rita, Happy Lavender pada dekade sebelumnya, boleh jadi tak pernah dengar tetek-bengek semacam rockabilly atau menswear culture. Tapi persoalannya memang bukan di situ.

Kembali lagi kita harus melihat pomade sebagai sebuah konsep utuh, bukan sekadar produk. Dalam gelombang tren pomade di tanah air pada beberapa tahun belakangan, kita memang tak bisa membantah pengaruh kuat kultur rockabilly dan menswear yang ikut masuk. Tak peduli soal kultur tersebut dihayati cukup mendalam, atau sekadar aksesoris.

Tengok saja bagaimana mayoritas enthusiast pomade di Indonesia mencitrakan dirinya. Kesan rock dan klimis, dengan gaya rambut klasik yang mengambil referensi dari ikon seperti Elvis Prestley, James Dean, Johnny Cash dan lainnya.

Loh, bukannya kalo memakai pomade memang referensi gayanya memang ke arah situ? Justru itu poinnya. Dulu sebelum mengenal pomade sebagai konsep, kita memakai Tancho tanpa perlu pusing-pusing mempelajari gaya rambut tertentu. Asal cocok, rapi dan berkilau. Beda soalnya dengan saat ini.

Soal menswear culture, tengok saja bagaimana para penjual pomade di instagram membujuk calon pembeli dengan menyodorkan fantasi tentang kejantanan, gentlemanly, necis dan klasik.

Kita tak bisa menolak bahwa tren pomade yang menjamur belakangan di Indonesia memang mendapat pengaruh kuat dari beberapa kultur dari Amerika. Anda, seperti juga saya, mungkin tidak merasakan pengaruh yang sama. Tapi mayoritas enthusiast pomade menghayati pengaruh tersebut. Dan itu bukanlah cela.

Formula pomade rumahan di Indonesia mengekor produk Amerika
Apa yang bisa kita bantah? Bui tidak salah mengatakannya. Tengok bahan-bahan yang digunakan merk-merk pomade homebrew populer di Indonesia. Petrol, beeswax, microwax,berbagai macam minyak, lanolin, semua sudah dipakai di pomade produksi Amerika jauh sebelumnya.

Tapi soal formula, pomade Indonesia kan lebih bisa beradaptasi dengan iklim setempat? Betul. Tapi konsepsi formula pomade-pomade kita mengikuti apa yang sudah menjadi tradisi di Amerika. Varian; light, medium, heavy. Ingin kilau dan slickness? Pakai pomade light. Varian heavy untuk profil gaya rambut lebih mencolok, tapi maklum saja kalau kurang slick dan kilaunya cenderung matte. Persis formulasi mayoritas pomade di Amerika, satu produk satu kemampuan. Yang dituntut oleh Bui, produk yang bisa mendobrak batasan-batasan tersebut.

BERSAMBUNG KE BAGIAN KEDUA

No comments:

Post a Comment