Persoalan lebih mendasar
Saya bilang sebelumnya, ada persoalan lebih mendasar dalam esai Bui ketimbang poin-poin yang diajukan pengkritiknya. Tapi sebelumnya kita mesti memahami gagasan utama yang ingin dikatakan Bui dalam esainya. Ia menginginkan inovasi.
Pomade sejak awal ditemukannya selalu dimaksudkan sebagai produk dengan satu kemampuan. Karenanya ia memuji inovasi yang dikerjakan Steve Lockhart (Lockhart’s) dan Edwin Carson (Pomps Not Dead) yang mendobrak sekat tradisional pomade. Lockhart’s membuat pembaruan lewat Goon Grease (foto Goon Grease dijadikan ilustrasi paragraf ini), pomade heavy yang bisa menghasilkan kilau dan slickness sangat tinggi. Untuk Pomps Not Dead, Bui tak mengindikasikan produk yang mana.
Saya mencatat dua persoalan mendasar dalam esai Bui.
Pertama, ia memakai ukuran Amerika untuk mengevaluasi negara-negara lain, di mana popularitas pomade tengah menanjak. Kita bahas secara spesifik soal Indonesia. Kebetulan Bui pun memberi sedikit tekanan tambahan pada Indonesia dan Jepang.
Indonesia adalah sebuah negara yang baru mengenal konsep pomade dalam beberapa tahun terakhir. Namun secara luar biasa sedang membalikkan posisi dari konsumen terbesar produk-produk Amerika, menjadi salah satu negara produsen pomade. Bui tidak mempertimbangkan fakta ini.
Sebagai sebuah esai yang bermaksud serius, paparan Bui bisa dibilang fakir data. Dan fatalnya, ia tidak berusaha melengkapi dengan cara-cara sederhana. Misal mewawancarai para pengrajin pomade di Indonesia, atau berinteraksi dengan para enthusiast pomade berpengalaman di Indonesia, untuk mengumpulkan informasi pendukung.
Dalam konteks Indonesia, proses seorang enthusiast menjadi pengrajin pomade lebih rumit ketimbang di Amerika. Di sini kita masih berkutat dengan persoalan yang sangat mendasar, seperti ketersediaan bahan baku dan minimnya akses terhadap informasi mendalam untuk masing-masing bahan baku. Untuk mendapatkan lanolin, misalnya, para pengrajin mempunyai pilihan sangat terbatas. Ini belum bicara soal standar kualitasnya.
Persoalan lain adalah tipisnya selisih antara ongkos produksi pomade industri rumahan dengan standar harga jual pomade-pomade lokal. Ini tentu menyulitkan produsen untuk menyisihkan budget untuk riset. Sebagai perbandingan, di Amerika dengan segala kemudahannya, standar harga pomade berkisar di angka $12. Di sini harga pomade lokal Rp. 100.000 sudah terhitung mahal. Dalam kondisi begini, mendadak Indonesia dituntut untuk berinovasi?
Saya tak tahu banyak soal Jepang, negara yang dipuji Bui dalam hal perkembangan pomade. Tapi kita tahu mereka negara maju dengan tradisi riset kuat. Tancho sebagai salah satu produk Jepang yang mencolok, memakai bahan dasar unik, jauh sebelum pomade buatan Amerika kembali menggeliat di dunia. Produk Jepang lainnya, Cool Grease, bahkan sulit mencari informasinya, apakah ini produk pabrikan atau industri rumahan.
Dengan kondisi demikian, memakai ukuran negara maju untuk menguji perkembangan pomade di Indonesia hanya menunjukkan kurangnya data dan pemahaman Bui tentang persoalan yang ia bicarakan.
Di sekitar momen kegaduhan saat membahas esai tersebut, seseorang bertanya apakah Bui pernah mencoba pomade Indonesia? Ia jawab belum. Ini sebetulnya tidak relevan dengan bahasan esainya. Tapi mungkin bisa menunjukkan sikap apriori, yang dalam konteks esainya merupakan kesalahan fatal.
Kedua, soal pomade dan kultur. Adalah fakta bahwa pomade sebagai sebuah produk sudah dikenal orang Indonesia sejak puluhan tahun lalu. James Bui pun benar bahwa baru beberapa tahun terakhir kita mengenal pomade sebagai sebuah konsep, sebuah kultur. Tapi mungkin hal ini justru menggambarkan apa yang lolos dari amatan Bui.
Ia berbicara dalam konteks industri dan budaya pomade di Amerika. Itu hal yang sah. Yang jadi soal, ia sekali lagi menggeneralisasi pandangannya ke wilayah lain, dalam konteks yang berbeda. Pomade bisa hadir di mana saja, dan para penggunanya punya hak untuk memandang dengan caranya masing-masing.
Bui tak mau melihat pentingnya fakta kehadiran pomade sejak puluhan tahun lalu di Indonesia tanpa melibatkan pengaruh kulur Amerika. Ismail Marzuki, misalnya. Kalau dicek dari foto-fotonya, kita boleh curiga ia menggunakan pomade secara rutin. Tapi karya-karya musiknya sudah populer jauh sebelum Elvis menggebrak dunia dengan gaya rambut aduhai.
James Bui lebih memilih titik lain yang lebih baru untuk dinilai, saat tren pomade beserta pengaruh akar kulturnya menggeliat di Indonesia beberapa tahun lalu. Menurut saya sikap ini murni akibat keterbatasan informasi yang dimilikinya.
Sebetulnya cara Bui memandang pomade pun sangat berbeda dengan kebanyakan enthusiast di Amerika, seperti tergambar dalam dinamika grup Everything Pomade, yang meski bersifat internasional, tapi berbasis Amerika.
Para enthusiast menjadikan pomade sebagai bagian dari kehidupannya. Mereka memamerkan koleksi, mendiskusikan macam-macam produk dengan dinamis dan terbuka, melakukan hal-hal konyol bersama pomade, saling bertukar ejekan terkait pomade sebagai lambang keakraban.
James Bui tidak terlibat dalam semua itu. Meski di grup yang sama, ia mengambil jarak dari para enthusiast. Ia lebih suka memosisikan diri sebagai penunjuk jalan, sumber segala pengetahuan tentang pomade, berada di atas para enthusiast. Ia berbicara soal pomade terbatas pada kepentingan industri atau memperkuat argumennya. Bui memandang pomade tak lebih dari sekadar barang jualan. Ia seperti ingin berada di posisi Miranda Priestly (The Devil Wears Prada) dalam dunia pomade.
Bui begitu terobsesi dengan inovasi. Ia membenci pomade tradisional pabrikan seperti Murray’s, yang disebutnya sebagai the cheapest and shittiest oil-based pomade. Opini ini justru berkebalikan dengan pandangan mayoritas enthusiast berpengalaman yang sangat menghargai produk-produk Murray’s. Pertanyaannya, kepada siapa Bui bicara?
Penutup
Pomade, selain sebagai sebuah ikon kultur, juga bagian dari industri. Dan komoditas industri memerlukan inovasi untuk bertahan hidup. Tapi mungkin jalannya tak seperti yang diinginkan Bui.
Para enthusiast menyambut gembira produk-produk baru, penasaran dengan penemuan-penemuan baru, tapi mereka tak menolak masa lalu. O’Douds Waterbased adalah inovasi yang mengubah banyak hal dalam dunia pomade. Para enthusiast menyambar kehadirannya dengan euforia. Tapi mereka juga bersuka cita saat Murray’s mengeluarkan edisi terbatas seperti Vintage, 50:50 atau Extra Heavy.
Mereka berburu produk-produk lama yang sudah langka di pasaran, yang barangkali performanya sudah jauh tertinggal dari produk-produk baru. Semata-mata demi kegembiraan, kebanggan dan kepuasan.
Saya memahami apa yang diupayakan Bui adalah mendorong industri pomade menjadi lebih modern. Diposisikan sama seperti produk-produk penata rambut di salon-salon atau supermarket. Diuji oleh pasang-surut tren industri. Dipakai bukan hanya oleh para enthusiast, tapi juga di kalangan lebih luas.
Tapi sejauh ini para enthusiast lebih suka bermain-main dan bergembira dengan ambiguitas pomade; sebagai komoditas industri, sekaligus ikon kultur tertentu yang menolak dinamika tren di luar dunianya. Dan kepada para enthusiast inilah selama puluhan tahun pomade menggantungkan hidupnya.
Mantep ulasannya.. setuju.. setuju..
ReplyDelete